KATA HATI

Pemimpin Yunani Dibentuk Sejak Bayi

BAGI mereka yang senang berfilsafat, cerita tentang Sokrates, Plato, atau Aristoteles, selalu menarik dan menjadi sumber inspirasi. Sokrates adalah orang Athena yang mengabdikan seluruh hidupnya di kota itu.

Sejarah hidup, ajaran, dan kepribadiannya begitu unik, karena itu dalam sejarah filsafat tidak ada filsuf yang ramai dibicarakan dan dipersoalkan seperti Sokrates. Dari segi pendidikan, Sokrates sangat berjasa mendidik anak-anak Yunani melalui metode dialektika yang terbilang unik.

Keberhasilan Sokrates membimbing anak-anak muda Yunani, tidak terlepas dari sistem negara kota dan budaya setempat. Sejak dilahirkan, anak-anak Yunani kuno dididik keras. Pendidikan pun berlangsung berjenjang, sesuai tingkat usia anak.

Orangtua akan sangat bangga mendidik dan membesarkan anak-anak mereka ketika melewati usia 14 hari pertama sejak kelahiran. Karena 10 hari sesudah kelahirannya, sang ayah memeriksa kondisi fisik anak, dan kalau melihat bayinya cacat atau lemah, maka ia menyuruh ibunya menaruh sang bayi di tempat umum supaya cepat mati.

Kalau sang ayah merestui hidup sang anak, maka saat itu juga tampaklah hal-hal yang mempesona bagi seorang anak bayi. Anak itu akan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat menggembirakan.

Sesuai tingkat usianya, anak balita Yunani dibiasakan bermain giring-giring tanah liat dengan kerikil di dalamnya. Untuk anak-anak yang lebih besar, sang ayah menyediakan ayunan, layang-layang, bola sepak, dan berbagai permainan lainnya.

Selama satu tahun pertama, pertumbuhan dan perkembangan anak berada di bawah bimbingan dan pengawasan sang ibu. Tugas ibu adalah menjaga agar kehidupan anak bebas dari kesusahan, ketakutan dan rasa sakit selama tiga tahun pertama.

Pada tiga tahun berikutnya, sang ibu memberikan pendidikan yang penuh corak olahraga dan kesenangan. Memasuki usia lima tahun, kebahagiaan sang anak segera berakhir, karena pada usia enam tahun, anak laki-laki Yunani harus dipisahkan dari anak-anak wanita.

Anak perempuan tetap tinggal di rumah bersama ibunya, sedangkan anak laki-laki dikirim ke sekolah. Inilah fase akhir dari kebebasan masa anak-anak Yunani. Mereka kemudian digiring ke sistem pendidikan Athena yang sangat ketat.

Filsuf Plato yang juga murid Sokrates, mencatat kata-kata filsuf Protagoras tentang pendidikan anak-anak Yunani. “Ibu, ayah, pengasuh dan pembimbing pribadi saling bersaing meningkatkan pendidikan si anak setelah anak dapat mengerti apa yang dikatakan kepadanya. Jika patuh, anak itu menjadi baik dan benar. Jika tidak, ia diluruskan dengan ancaman dan pukulan, sebagaimana kayu yang bengkok atau melengkung harus diluruskan.”

Pada usia 7-18 tahun, anak laki-laki belajar di sekolah dengan bimbingan pribadi dan terkadang dijaga oleh para budak. Setiap hari, sekolah dilaksanakan di jalanan terbuka oleh guru yang selalu diganggu, dihina di depan umum dan kerap tidak digaji.

Di situ, anak-anak Yunani belajar membaca, menulis, berhitung, puisi, dan musik. Ironisnya, sekolah-sekolah itu muncul karena undang-undang Athena menuntut agar orangtua mendidik putranya, karena itu bukan tugas sekolah. Negara tidak wajib menyediakan sekolah.

Dalam situasi seperti itu, munculah sosok Sokrates. Ia mendidik anak muda Yunani melalui metode dialektika, yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Dalam dialognya, Sokrates tidak menyelidiki fakta empiris, melainkan menyelidiki pendapat orang. Bertolak dari pendapat orang sebagai sebuah hipotesa, Sokrates bertanya terus-menerus.

Dengan metode ini, Sokrates mau mengantar murid atau pendengarnya untuk bersama-sama mencari kebenaran. Sejumlah dialog berakhir dengan kesimpulan yang jelas dalam bentuk definisi yang bisa dijadikan pegangan hidup. Namun, beberapa dialog lainnya berakhir dengan aporia (rasa bingung karena tidak ada kesimpulan).

Sokrates sendiri menolak menyebutkan sistem pendidikannya menggunakan metode dialektika, tapi majentike tekhne (seni kebidanan). Sebagaimana ibunya seorang bidan yang menolong kelahiran para bayi, Sokrates pun menolong kelahiran pengetahuan baru itu. Tapi, ia hanya membidaninya melalui pertanyaan-pertanyaan cerdas.

Landasan teori pendidikan Sokrates diteruskan oleh muridnya, Plato. Sejak kecil Plato sudah mengenal Sokrates. Sebagai anak bangsawan Athena, Plato bercita-cita meniti karier di bidang politik. Tapi karena sikap pemimpin ketika itu sangat korup, Plato akhirnya mengubur dalam-dalam cita-citanya. Ia lalu mengabdikan seluruh hidupnya dalam bidang filsafat, meneruskan ajaran Sokrates.

Sejak kecil Plato memang cerdas. Nama asli Plato adalah Aristokles, tapi karena dahinya lebar, maka gurunya memanggil dia si lebar atau platos. Plato sangat menekankan pentingnya pendidikan dalam sebuah negara ideal. Tujuannya, membimbing orang keluar dari kegelapan kebodohan menuju kepada pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar akan membimbing orang ke cara hidup yang baik, dan cara hidup yang baik akan mengantar orang ke eudaimonia atau kebahagiaan.

Selain itu, pendidikan bertujuan membimbing dan mengembangkan bakat dan kemampuan agar sanggup melakukan tugasnya sebagai warga negara. Pendidikan juga bertujuan menyiapkan pemimpin-pemimpin yang baik. Bagaimana tujuan itu bisa tercapai? Menurut Plato, ada tiga tingkatan pendidikan. Pertama, pendidikan untuk anak usia remaja hingga 20 tahun. Materi pendidikan adalah musik (berasal dari bahasa Yunani yakni mousa yang berarti 9 putri dewa) dan gimnastik. Musik diajarkan terlebih dahulu untuk memperhalus budi dan gimnastik atau senam untuk kesehatan fisik. Jadi, tujuan pendidikan Plato tahap pertama adalah menjaga keseimbangan antara jasmani dan rohani.

Kedua, pendidikan berlangsung 10 tahun untuk mereka yang berusia 20-30 tahun atau yang sudah lulus tahap pertama. Materi pendidikan adalah ilmu-ilmu eksata, untuk melatih orang berpikir tepat, jelas dan sistematis.

Ketiga, pendidikan berlangsung lima tahun untuk yang berusia 30-35 tahun atau yang telah lulus tahap kedua. Pendidikan ini diberikan kepada orang-orang pilihan yakni para calon-calon pemimpin. Materi pendidikan adalah dialektika. Melalui metode ini, mahasiswa dibimbing ke pengetahuan rasional murni.

Sesudah menyelesaikan pendidikan itu, para mahasiswa disuruh mempraktikkan ilmunya selama 15 tahun dibawah bimbingan seorang pemimpin yang berpengalaman. Kalau berhasil, maka pada umur 50 tahun seseorang siap menjadi pemimpin. Dunia pemikiran membuat Athena menjadi kuat. Aristoteles benar ketika mengatakan, “Cinta kita akan dunia pemikiran tidak membuat kita lemah.”

Tinggalkan komentar